Bagaimana Hukumnya Jika Belum Sempat Qodho Puasa Hingga Ramadhan Tiba?

Tak terasa bulan Ramadhan sudah akan datang lagi. Karena kesibukan yang luar biasa, seringkali kita tidak menyadari waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru beberapa bulan kemarin kita merayakan Idul Fitri, eh sekarang sudah mau puasa lagi. Padahal bulan puasa kemarin ada puasa yang bolong dan belum sempat qodho. Waduh...bagaimana ini? Apa hukumnya jika belum sempat qodho puasa tahun sebelumnya dan sudah masuk bulan puasa Ramadhan lagi?

Ternyata masalah seperti ini banyak yang menghadapinya. Entah bolongnya puasa itu karena alasan Syar’i atau karena alasan lain. Yang jelas, hutang puasa harus dibayar. Jika karena sesuatu hal belum sempat membayar/mengqodho puasanya dan sudah memasuki bulan Ramadhan lagi, ada beberapa penjelasan terkait hal itu.

Bagaimana Hukumnya Jika Belum Sempat Qodho Puasa Hingga Ramadhan Tiba?


Dalam al-Qur’an disebutkan,  bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa, baik karena sakit yang ada harapan sembuh atau safar atau sebab lainnya, untuk tidak berpuasa, dan diganti dengan qodho atau menggantinya  di luar ramadhan. Allah berfirman,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya:

Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184)

Kemudian, para ulama mewajibkan, bagi orang yang memiliki hutang puasa ramadhan, sementara dia masih mampu melaksanakan puasa, agar melunasinya sebelum datang ramadhan berikutnya. Berdasarkan keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

Dulu saya pernah memiliki utang puasa ramadhan. Namun saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan sya’ban. (HR. Bukhari 1950 & Muslim 1146)

Dalam riwayat muslim terdapat tambahan,

الشُّغْلُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Karena beliau sibuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

A’isyah, istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu siap sedia untuk melayani suaminya, kapanpun suami datang. Sehingga A’isyah tidak ingin hajat suaminya tertunda gara-gara beliau sedang qodho puasa ramadhan. Hingga beliau akhirkan qodhonya, sampai bulan sya’ban, dan itu kesempatan terakhir untuk qodho.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

وَيؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذلك في شَعْبَان: أَنَّهُ لا يجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يدْخُلَ رَمَضَان آخر

Disimpulkan dari semangatnya A’isyah untuk mengqodho puasa di bulan sya’ban, menunjukkan bahwa tidak boleh mengakhirkan qodho puasa ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya. (Fathul Bari, 4/191).

Bagaimana jika belum sempat qodho puasa hingga datang ramadhan berikutnya?

Sebagian ulama memberikan rincian berikut,

Pertama, menunda qodho karena udzur, misalnya kelupaan, sakit, hamil, atau udzur lainnya. Dalam kondisi ini, dia hanya berkewajiban qodho tanpa harus membayar kaffarah atau fidyah. Karena dia menunda di luar kemampuannya.

Seluruh fuqaha (ulama ahli Fiqih) sepakat bahwa orang yang punya hutang qodho’ puasa wajib (puasa Ramadhan), kemudian dia menunda qodho’ nya itu sampai bertemu Ramadhan berikutnya karena ada udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh meng-qodho’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qodho’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. (lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jilid 32, hal. 70)

Udzur Syar’i disini maksudnya adalah sebab yang dibenarkan dalam syariat untuk menunda qodho’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui masih tidak juga memungkinkannya untuk berpuasa. Karena jika berpuasa, khawatir akan terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatan diri dan bayi yang dikandung /disusuinya.

Misalnya, apabila ada wanita hamil di Ramadhan tahun 2015, kemudian kondisi memaksanya untuk meninggalkan puasa selama beberapa hari karena khawatir akan terjadi hal buruk pada kesehatan badannya, maka menurut para ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali wanita ini wajib mengganti puasanya dengan qodho’ usai Ramadhan nanti.

Akan tetapi bila sehabis Ramadhan ternyata kondisi wanita ini masih sangat payah sebab masih hamil atau sedang menyusui, dan tidak memungkinkannya untuk meng-qodho’ hingga akhirnya bertemu Ramadhan berikutnya (2016), maka wanita ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qodho’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya.

Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang sakit selama dua tahun. Sehingga utang ramadhan sebelumnya tidak bisa diqodho hingga masuk ramadhan berikutnya.

Jawaban yang beliau sampaikan,

ليس عليها إطعام إذا كان تأخيرها للقضاء بسبب المرض حتى جاء رمضان آخر ، أما إن كانت أخرت ذلك عن تساهل ، فعليها مع القضاء إطعام مسكين عن كل يوم

Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qodho disebabkan sakitnyam hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qodho karena menganggap remeh, maka dia wajib qodho dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/572/

Kedua, sengaja menunda qodho hingga masuk ramadhan berikutnya, tanpa udzur syar’i atau karena meremehkan atau  mungkin karena lalai dan sebagainya hingga akhirnya masuk Ramadhan berikutnya.

Jumhur Fuqaha’ (mayoritas ulama) dari madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa shahabat Nabi SAW berpendapat bahwa orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam meng-qodho’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qodho’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qodho’nya.

As-Syaukani menjelaskan tentang hal ini:

وقوله صلى الله عليه وسلم: “ويطعم كل يوم مسكينًا”: استدل به وبما ورد في معناه مَن قال: بأنها تلزم الفدية من لم يصم ما فات عليه في رمضان حتى حال عليه رمضان آخر، وهم الجمهور، ورُوي عن جماعة من الصحابة؛ منهم: ابن عمر، وابن عباس، وأبو هريرة. وقال الطحاوي عن يحيى بن أكثم قال: وجدته عن ستة من الصحابة، لا أعلم لهم مخالفًا

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin”, hadis ini dan hadis semisalnya, dijadikan dalil ulama yang berpendapat bahwa wajib membayar fidyah bagi orang yang belum mengqodho ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat yang diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. At-Thahawi menyebutkan riwayat dari Yahya bin Akhtsam, yang mengatakan,”Aku jumpai pendapat ini dari 6 sahabat, dan aku tidak mengetahui adanya sahabat lain yang mengingkarinya.” (Nailul Authar, 4/278)

Misalnya, bila ada orang yang punya tanggungan qodho’ puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qodho’ hutang-hutang puasanya itu, tapi ia lalai dan menundanya sampai akhirnya bertemu Ramadhan selanjutnya. Maka menurut mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah atas hutang puasanya yang belum di qodho’, tanpa menggugurkan kewajiban qodho’ itu sendiri.

Artinya, kewajiban qodho’ tetap harus ia lakukan usai Ramadhan yang kedua tadi, plus ditambah bayar fidyah karena ia telah lalai melakukan qodho’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua.

Jika ia punya hutang puasa 5 hari, dan ia belum mengqodho’nya seharipun hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, maka selain tetap harus membayar qodho’ ia juga wajib membayar fidyah selama 5 hari itu. Akan tetapi bila sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qodho’ puasanya selama 3 hari, sedangkan sisanya yang 2 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka ia harus membayar fidyah selama 2 hari saja.

Fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud/hari yang diberikan pada fakir miskin berupa makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri itu, kalau di Indonesia biasanya beras. Ukuran beras 1 mud kurang lebih ¼ dari ukuran zakat fitrah, yakni sekitar 0,875 liter atau 0,625 kg.

Jadi kewajiban qodho tidak hilang. Artinya tetap wajib qodho, sekalipun sudah melewati ramadhan berikutnya. Ulama sepakat akan hal ini.

Orang yang seperti itu juga mempunyai kewajiban bertaubat. Karena orang yang secara sengaja menunda qodho tanpa udzur hingga masuk ramadhan berikutnya, termasuk bentuk menunda kewajiban, dan itu terlarang. Sehingga dia melakukan pelanggaran. Karena itu, dia harus bertaubat.


Demikian sedikit penjelasan tentang hukum bagi orang yang mempunyai hutang puasa Ramadhan dan belum sempat mengganti atau mengqodho puasanya sampai Ramadhan berikutnya datang. Karena itu ketika bulan Rajab tiba,kita harus sudah bersiap-siap untuk menyambut puasa, termasuk qodho jika masih punya hutang.