BAHAYA Lisan Yang Tak Terjaga



Berita Islam - Suatu kali seorang wanita ditanya oleh teman pengajiannya, “Bagaimana Ukh, sudah ada tanda-tanda isi?” Rupanya teman tersebut bertanya apakah dia sudah hamil atau belum mengingat usia pernikahannya yang sudah cukup lama. “Jika memang belum, diikhtiarkan saja Ukh untuk berobat ke dokter”. Entah karena kesal atau mungkin pertanyaan semacam itu bukan sekali dua kali diterimanya, jawabannya cukup mengejutkan, ”Maaf, buat saya dan suami memiliki anak bukanlah tujuan utama. Bagi kami yang penting bisa mencapai target kami yang lain dulu seperti memiliki tanah, rumah, kendaraan, dll. Jadi soal anak bukan yang utama buat kami”. Temannya tadi cukup terkejut dengan jawaban tersebut, “Subhanallah, istighfar Ukhti. Kami faham dengan kegelisahan Ukhti, tapi tolong jangan sampai terucap kata-kata itu lagi. Tak pantas seorang yang cukup faham soal agama seperti Ukhti sampai mengucapkan kalimat tadi”. Dia pun hanya terdiam tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya.

Beberapa tahun kemudian, segala ucapan Ukhti tadi memang terbukti benar, dan ucapannya di ijabah oleh Allah. Dia dan suaminya telah berhasil memiliki rumah beserta isinya serta kendaraan bermotor sebagaimana ucapannya di atas. Namun, ada satu hal yang cukup memprihatinkan dan membuat teman-temannya yang lain menjadi turut berduka. Sang Ukhti tadi menderita kanker leher Rahim yang membuat dokter terpaksa mengambil keputusan untuk mengangkat rahimnya agar penyakitnya tersebut tidak menyebar dan membahayakan dirinya. Tentu saja dengan demikian telah tertutup kemungkinan bagi dirinya untuk memiliki anak sendiri dari rahimnya.

Lain waktu dan kesempatan, seorang lelaki muda (ikhwan) sedang berbicara sambil setengah bercanda dengan salah seorang teman halaqohnya, “Akh, gw nanti gak mau ah nikah sama akhwat. Habis pada penyakitan sih. Lihat tuh teman kita, berapa kali istrinya keluar masuk rumah sakit dan berobat?”, katanya sambil sedikit tertawa. “Eh, ente hati-hati tuh ngomong. Emangnya semua akhwat begitu apa? Buktinya istri ane kagak kan?” Kata sang teman yang terkejut dengan candaan darinya itu.

Selang beberapa waktu kemudian, ikhwan tadipun menikah tentunya dengan seorang akhwat pula, karena obrolan di atas tadi tidak benar-benar keluar dari hatinya. Namun…. Allah sudah ‘terlanjur’ mendengar gurauannya tadi. Istrinya menderita suatu penyakit bawaan yang dideritanya sejak kecil hingga sekarang.

Sahabat sekalian, terkadang dan sering kali kita tak memperhatikan atas apa-apa yang kita ucapkan. Entah sesuatu yang terlontar dari mulut kita saat kita bercanda, atau saat kita kesal, atau justru saat kita sedang senang. Kita lupa, bahwa di kiri dan kanan ada malaikat yang senantiasa bertugas ‘menginteli’ kita setiap hari. Dan kita juga lupa, bahwa Allah Maha Mendengar segala hal, termasuk ucapan-ucapan kita. Seiring semakin intensnya interaksi kita dengan sahabat-sahabat kita baik di dunia nyata maupun maya, maka kemungkinan akan terjadi gesekan juga semakin terbuka. Jika di dunia nyata masih terbatas pada apa yang biasa kita temui sehari-hari, maka di dunia maya hal tersebut akan menjadi lebih terbuka lebar.

Perkara-perkara sederhana dan remeh temeh serta perbedaan pendapat yang tak perlu, kadang tanpa kita sadari telah membuat kita bersikap ‘berseberangan’ dengan kawan-kawan kita. Juga hal-hal kecil seperti bergurau, sekedar lempar komen, dan lain-lain. Jika kita waspada, mungkin ada saja pernyataan-pernyataan baik dalam kondisi sedih, kesal, ataupun senang, yang sering tidak kita sadari akan keluar dari mulut kita dan pernyataan-pernyataan tersebut ada yang mencatat selama 24 x 7.
Kita tentunya gak ingin jika pernyataan-pernyataan kita hari ini menjadi kenyataan di kemudian hari. Klo yang baik-baik sih, it’s ok lah, tapi bagaimana jika ternyata justru hal-hal yang ‘tidak baik’ malah menjadi terwujud seperti cerita di atas? Benar, itu adalah bagian dari ujian Allah, tapi kita juga harus ingat dan menyadari bahwa kita punya ‘andil’ atas ujian tersebut.

Maka, kita dianjurkan untuk banyak-banyak istighfar dan terus-menerus untuk introspeksi atas segala hal yang terjadi dan menimpa diri kita. Mungkin dulu kita pernah melakukan atau mengucapkan sesuatu yang membuat kita mengalami satu kejadian atau peristiwa di hari ini. Umar bin Khattab RA menganjurkan kita untuk senantiasa menghisab diri kita agar kita selalu dapat mewaspadai dan menyadari bahwa segala apa yang tengah dan telah menimpa kita mungkin diakibatkan oleh perbuatan atau ucapan kita di masa lalu. Pernah suatu ketika beliau sedang berjalan dan tiba-tiba kakinya terantuk batu. Beliau beristighfar dan meminta ampun pada Allah jika ada kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya sebelum kejadian itu. Dibalik sikapnya yang keras dan tegas, ternyata betapa sensitifnya Umar bin Khattab, sehingga menganggap kejadian ‘kecil’ yang dialaminya adalah buah dari perbuatannya di masa lalu. Bandingkan dengan kita, mungkin kita baru sebatas beristighfar ketika mengalami satu peristiwa tanpa berusaha meminta ampun atas kesalahan kita dimasa lalu.

Sebenarnya kita juga sensitif kok, tapi sayangnya seringnya kita sensitif jika ada hal-hal berupa pernyataan atau perbuatan dari teman-teman kita yang sebenarnya mereka tidak menunjukannya kepada kita namun karena saking ‘sensitif’nya, kita jadi merasa bahwa ucapan tersebut ditujukan kepada kita. Kayaknya klo kita ubah sensitifitas tersebut menjadi ke arah yang lebih baik seperti Umar bin Khattab RA dan tidak semata bersifat mengedepankan egoisme apalagi fanatisme tak terarah, sepertinya dunia akan jadi lebih baik deh. Tidak hanya untuk kita, juga untuk semua orang.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Sabda Rasulullah SAW, HR Muslim).

Akhirnya kita harus senantiasa menjaga ucapan dan perbuatan kita. Jangan sampai apa yang kita ucapkan berbalik dan menimpa diri kita… Naudzubillah
 

By: Abuhafizh Rindro